Soldier Of Allah - Indonesia
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.


Soldier Of Allah adalah Team Pembela Islam
 
IndeksPortalLatest imagesPencarianPendaftaranLogin

 

 Bolehkah Menyematkan Gelar ‘Syahid’?

Go down 
3 posters
PengirimMessage
abu adam

abu adam


Jumlah posting : 43
Join date : 07.04.10
Lokasi : Diatas Bumi Dibawah Langit

Bolehkah Menyematkan Gelar ‘Syahid’? Empty
PostSubyek: Bolehkah Menyematkan Gelar ‘Syahid’?   Bolehkah Menyematkan Gelar ‘Syahid’? EmptyMon Apr 19, 2010 9:39 pm

Bolehkah Menyematkan Gelar ‘Syahid’? Bismib

Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin ditanya:

Bolehkah menyematkan gelar ‘syahid’ untuk orang tertentu sehingga kemudian dia disebut ‘asy-syahid fulan’?

Maka beliau menjawab dengan mengatakan:

Tidak boleh bagi kita untuk menyatakan persaksian bagi orang tertentu bahwa dia adalah syahid, walaupun dia terbunuh dalam keadaan terzhalimi, atau terbunuh dalam keadaan membela al-haq, sesungguhnya tidak boleh bagi kita untuk mengatakan bahwa ‘si fulan syahid’.

Berbeda dengan sikap yang dilakukan oleh manusia pada masa-masa sekarang, ketika mereka menganggap enteng dan bermudah-mudahan dalam memberikan persaksian seperti ini, serta menganggap bahwa setiap orang yang terbunuh -walaupun terbunuh karena fanatisme jahiliyyah (membela kelompoknya)-, maka mereka namai sebagai orang yang syahid. Ini adalah haram, karena perkataan anda tentang seseorang yang terbunuh: ‘dia adalah syahid’, merupakan persaksian yang kelak akan dimintai pertanggungjawabannya pada hari kiamat, anda akan ditanya: ‘apakah anda memiliki ilmu bahwa dia terbunuh sebagai syahid?’

Oleh karena itulah, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

ما من مكلوم يكلم في سبيل الله والله أعلم بمن يكلم في سبيله إلا جاء يوم القيامة وكلمه يثعب دما ، اللون لون الدم ، والريح ريح المسك.

“Tidak ada seorangpun yang terluka di jalan Allah -dan Allah lebih tahu siapa yang benar-benar terluka di jalan-Nya (yakni yang jujur dan ikhlas di dalamnya)-, kecuali dia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan lukanya mengalirkan darah, warnanya warna darah, dan aromanya aroma misik.”

Maka perhatikanlah sabda nabi sallallahu ‘alaihi wasallam: “Dan Allah lebih tahu siapa yang benar-benar terluka di jalan-Nya”, karena sebagian manusia bisa jadi yang nampak pada dia adalah berperang untuk meninggikan kalimat Allah, akan tetapi Allah mengetahui apa yang ada di hatinya, bahwasa hatinya menyelisihi apa yang nampak dari perbuatanya.

Dan inilah sebuah bab yang diletakkan oleh Al-Bukhari rahimahullah atas permasalahan tersebut di dalam kitab shahih beliau, beliau rahimahullah berkata: “Bab tentang tidak bolehnya mengatakan: ‘si fulan syahid” karena sumber dari sebuah persaksian adalah apa yang terdapat di dalam hati, dan tidak ada yang mengetahui apa yang ada di hati kecuali Allah ‘azza wajalla.

Niat adalah sesuatu hal yang agung, berapa banyak dari dua orang yang melakukan amalan yang sama namun perbandingan nilainya (dari amalan yang dilakukan keduanya) sangat jauh berbeda bagaikan langit dan bumi, yang demikian itu disebabkan niat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إنما الأعمال بالنيات ، وإنما لكل امرئ ما نوى ، فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله ، ومن كانت هجرته إلى دنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه.

“Sesungguhnya setiap amalan-amalan itu tergantung dengan niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan apa yang dia niatkan, maka barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang hijrahnya karena urusan duniawi yang ingin dia dapatkan, atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya kepada apa yang dia niatkan darinya.”

Wallahu a’lam.

Fadhilatu Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin juga ditanya tentang hukum mengatakan: ‘si fulan syahid’.

Maka beliau menjawab dengan mengatakan:

Jawaban atas pertanyaan tersebut adalah bahwa persaksian terhadap seseorang bahwa dia syahid, ada dua bentuk:

Yang pertama: persaksian yang diberikan dengan sifat/keadaan tertentu, misalnya mengatakan: ‘setiap orang yang terbunuh di jalan Allah, maka dia syahid’, ‘barang siapa yang terbunuh karena membela hartanya, maka dia syahid’, dan ‘barang siapa yang meninggal karena wabah penyakit tha’un, maka dia syahid’, dan yang semisal itu (tidak menyebutkan si fulan syahid, si fulan syahid dengan menyebut orang/namanya langsung, pent), maka ini diperbolehkan sebagaimana yang telah disebutkan dalam nash-nash (dalil-dalil syar’i).

Hal ini dibolehkan karena anda bersaksi terhadap sesuatu yang telah dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (dalam hadits-haditsnya yang shahih). Dan yang kami (Asy-Syaikh) maksudkan dengan perkataan kami ‘boleh‘, adalah bahwasanya hal itu tidak dilarang, walaupun sebenarnya persaksian seperti itu hukumnya wajib dalam rangka membenarkan berita yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Yang kedua: persaksian syahid yang diberikan kepada orang tertentu secara langsung, misalnya anda mengatakan tentang seseorang dengan menyebutkan: ‘si fulan syahid’, maka ini tidak boleh kecuali bagi orang yang dipersaksikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, atau umat ini bersepakat atas persaksian baginya bahwa dia syahid. Dan Al-Bukhari rahimahullah telah menyebutkan bab tentang permasalahan ini dengan perkataanya: ‘Bab tidak boleh mengatakan si fulan syahid’.

Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam Al-Fath (Fathul Bari) VI/90: “Yaitu (tidak bolehnya mengatakan si fulan syahid) dengan memastikan hal itu, kecuali dengan wahyu.”

Nampaknya beliau mengisyaratkan kepada hadits ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, ketika beliau berkhuthbah dengan mengatakan:

تقولون في مغازيكم فلان شهيد ، ومات فلان شهيدا ولعله قد يكون قد أوقر رحالته ، إلا لا تقولوا ذلكم ولكن قولوا كما قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ، من مات في سبيل الله ، أو قتل فهو شهيد.

“Kalian mengatakan dalam peperangan kalian bahwa si fulan syahid, si fulan telah meninggal sebagai syahid dan mungkin saja dia telah memenuhi tunggangannya dengan beban yang banyak. Ketahuilah! Jangan kalian berkata demikian, akan tetapi katakanlah sebagaimana yang diucapkan oleh Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam: ‘barangsiapa yang meninggal dunia atau terbunuh di jalan Allah, maka dia syahid’.”

Ini adalah hadits hasan yang dikeluarkan oleh Ahmad, Sa’id bin Manshur, dan selain keduanya dari jalan (sanad) Muhammad bin Sirin dari Abul ‘Ajfa’ dari ‘Umar.” -selesai perkataan beliau-.

Dan juga (larangan mepersaksikan bahwa si fulan syahid) karena persaksian terhadap sesuatu itu tidaklah tepat kecuali dengan ilmu. Syarat seseorang dikatakan syahid adalah ketika dia berperang (dengan niat) untuk meninggikan kalimat Allah. Dan seperti ini adalah niat yang sifatnya bathin (tidak nampak), dan tidak ada jalan sedikitpun (bagi manusia) untuk mengetahui apa yang diniatkan oleh seseorang.

Oleh karena itulah, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda -mengisyaratkan hal yang demikian-:

مثل المجاهد في سيبل الله ، والله أعلم بمن يجاهد في سبيله …

“Permisalan orang yang berjihad di jalan Allah -dan Allah Maha Mengetahui siapa yang benar-benar berjihad di jalan-Nya- …”

Dan sabdanya:

والذي نفسي بيده لا يكلم أحد في سبيل الله ، والله أعلم بمن يكلم في سبيله إلا جاء يوم القيامة وكلمه يثعب دما اللون لون الدم ، والريح ريح المسك.

“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak ada seorangpun yang terluka di jalan Allah -dan Allah lebih tahu siapa yang benar-benar terluka di jalan-Nya (yakni yang jujur dan ikhlas di dalamnya)-, kecuali dia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan lukanya mengalirkan darah, warnanya warna darah, dan aromanya aroma misik.”

Dua hadits tersebut diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dari shahabat Abu Hurairah.

Akan tetapi barangsiapa yang secara zhahir (nampak) baik, maka kita berharap kebaikan bagi dia, namun tidak kemudian kita memberikan persaksian bahwa dia syahid, dan tidak pula berburuk sangka padanya, sikap berharap (kebaikan untuk dia) adalah sikap yang berada di antara dua sikap (yang berlawanan, yaitu sikap bermudah-mudahan dalam memvonis seseorang sebagai syahid dan sikap berburuk sangka).

Namun tindakan kita terhadap seseorang (yang meninggal di jalan Allah) di dunia ini adalah memperlakukannya sama dengan hukum (perlakuan) terhadap para syuhada’. Jika dia terbunuh ketika jihad fi sabilillah, maka dia dimakamkan beserta dengan darah dan pakaian yang dia kenakan ketika itu, serta tidak dishalati. Dan jika dia meninggal karena sebab yang lainnya (selain berperang fi sabilillah), namun meninggal karena sesuatu yang bisa menjadikan dia tergolong syahid[1], maka dia tetap dimandikan, dikafani, dan dishalati.

Dan juga (larangan mempersaksikan bahwa si fulan syahid) karena kalau seandainya kita mempersaksikan bahwa si fulan syahid, maka persaksian itu akan mengharuskan persaksian bahwa dia termasuk penghuni Al-Jannah (surga). Ini adalah hal yang menyelisihi prinsip Ahlussunnah, karena mereka (Ahlussunnah) itu tidaklah mempersaksikan bahwa seseorang termasuk penghuni al-jannah kecuali bagi orang yang memang telah dipersaksikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (bahwa dia adalah penghuni al-jannah), baik itu persaksian dengan menyebutkan sifat (secara umum)[2] maupun persaksian terhadap individu tertentu[3].

Sebagian ulama berpendapat tentang bolehnya juga memberikan persaksian seperti ini (bahwa si fulan syahid) bagi orang yang memang umat ini telah bersepakat terhadap pujian kepadanya. Ini adalah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu ta’ala.

Dari sini, telah nampak jelas bahwasanya tidak diperbolehkan bagi kita untuk memberikan persaksian terhadap seseorang bahwa dia adalah syahid kecuali dengan adanya nash (dalil) atau adanya kesepakatan umat atas hal ini. Akan tetapi, barangsiapa yang secara zhahir (nampak) dia adalah baik, maka kita berharap kebaikan baginya sebagaimana penjelasan yang telah lalu. Dan ini sudah cukup untuk menunjukkan keutamaan dia, adapun (apa yang ada di dalam hatinya), maka yang mengetahui hanyalah Sang Penciptanya subhanahu wata’ala saja.

Sumber: http://wahyain.com/forums/showthread.php?t=1037

Diterjemahkan dan diberi catatan kaki oleh Abu Yahya Hayat dan Abu ‘Abdillah Kediri.
[1] Perlu diketahui bahwa di dalam hadits-hadits yang shahih disebutkan bahwa seseorang yang meninggal karena wabah penyakit tha’un, karena tenggelam, karena membela harta dan kehormatannya, dan lain sebagainya, maka dia tergolong syahid, namun kita tetap mempelakukan jenazahnya seperti biasa: dimandikan, dikafani, dan dishalati. Berbeda dengan seseorang yang meninggal di tengah-tengah medan jihad (perang) fi sabilillah, maka dia tidak dimandikan dan tidak dishalati, serta dimakamkan dengan tetap memakai baju yang dia kenakan ketika itu beserta darah atau luka pada tubuhnya. Wallahu a’lam.[2] Seperti yang disebutkan dalam beberapa hadits yang shahih bahwa seorang yang meninggal karena wabah penyakit tha’un, karena tenggelam, karena membela harta dan kehormatannya, maka dia tergolong syahid. Bahkan disebutkan di dalam Al-Qur’an bahwa orang-orang yang beriman dan beramal shalih secara umum mereka adalah penghuni al-jannah.[3] Seperti persaksian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap sepuluh shahabatnya bahwa mereka adalah penghuni al-jannah, yaitu Abu Bakr, Umar, Utsman, Ali, Thalhah bin Ubaidillah, Az-Zubair bin Al-Awwam, Abdurrahman bin Auf, Sa’d bin Abi Waqqash, Said bin Zaid, dan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, dan yang lainnya. Wallahu a’lam.
Kembali Ke Atas Go down
http://jihadbukankenistaan.com/
cyberkalashnikov

cyberkalashnikov


Jumlah posting : 118
Join date : 07.01.10
Lokasi : /bin/bash

Bolehkah Menyematkan Gelar ‘Syahid’? Empty
PostSubyek: Re: Bolehkah Menyematkan Gelar ‘Syahid’?   Bolehkah Menyematkan Gelar ‘Syahid’? EmptyTue Apr 20, 2010 5:25 am

kalau memang pemberian gelar syahid tidak boleh...
Rasulullah menyebut hamzah bin Abdul Muthalib sebagai penglima para syuhada..
Dan apabila para sahabat memberikan kabar hasil peperangan..mereka lebih memilih perkataan sifulan telah syahid insya Allah..si fulan telah syahid insya Allah..si fulan telah syahid insya Allah


memang lebih disarankan dalam pengucapan gelar syahid..dibarengin dengan perkataan insya Allah..
karena sesungguhnya kita tidak tahu isi hati dari orang yang diyakinin syahid tersebut....

sesuai hadist baginda rasulullah ketika melihat seorang yang berjuang dan mati karena tanah air...
ketika saat itu para sahabat meyakinin dan menyebutnya sebagai syuhada..
tapi rasulullah mengatakan kaalu dia berada dalam neraka..karena niatnya tersebut...

Allahu 'alam bis shawab
Kembali Ke Atas Go down
http://www.cyberkalashnikov.co.cc
abu adam

abu adam


Jumlah posting : 43
Join date : 07.04.10
Lokasi : Diatas Bumi Dibawah Langit

Bolehkah Menyematkan Gelar ‘Syahid’? Empty
PostSubyek: Re: Bolehkah Menyematkan Gelar ‘Syahid’?   Bolehkah Menyematkan Gelar ‘Syahid’? EmptyTue Apr 20, 2010 11:27 pm

Bismillahirrohmanirrohim

Code:

Bolehkah menyematkan gelar ‘syahid’ untuk orang tertentu sehingga kemudian dia disebut ‘asy-syahid fulan’?

Pertanyaan penanya mohon dicermati dulu ya akhi.

Yang tidak diperbolehkan adalah memvonis si fulan syahid, si alan syahid. Karena ada sebagian kaum muslimin yang berani menyematkan gelar syahid.
Oleh karena itu ditanyakan kepada Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin.
Bertanyalah kepada ahli ilmu jika kamu tidak mengetahui.

adapun yang antum tuliskan tentang ini sesuai dengan apa yang dicontohkan Rosululloh SAW.
Code:

Dan apabila para sahabat memberikan kabar hasil peperangan..mereka lebih memilih perkataan sifulan telah syahid insya Allah..si fulan telah syahid insya Allah..si fulan telah syahid insya Allah

memang lebih disarankan dalam pengucapan gelar syahid..dibarengin dengan perkataan insya Allah..
karena sesungguhnya kita tidak tahu isi hati dari orang yang diyakinin syahid tersebut....

Barokallohu fiikum
Kembali Ke Atas Go down
http://jihadbukankenistaan.com/
cyberkalashnikov

cyberkalashnikov


Jumlah posting : 118
Join date : 07.01.10
Lokasi : /bin/bash

Bolehkah Menyematkan Gelar ‘Syahid’? Empty
PostSubyek: Re: Bolehkah Menyematkan Gelar ‘Syahid’?   Bolehkah Menyematkan Gelar ‘Syahid’? EmptyWed Apr 21, 2010 4:43 am

hhe...
afwan atas kekeliruannya..

barokallah fikum
Kembali Ke Atas Go down
http://www.cyberkalashnikov.co.cc
Tamu
Tamu




Bolehkah Menyematkan Gelar ‘Syahid’? Empty
PostSubyek: Re: Bolehkah Menyematkan Gelar ‘Syahid’?   Bolehkah Menyematkan Gelar ‘Syahid’? EmptyMon Jul 12, 2010 10:51 am

Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku ingin terbunuh di jalan Allah kemudian dihidupkan kembali, kemudian terbunuh kemudian dihidupkan lagi, kemudian terbunuh kemudian dihidupkan lagi kemudian terbunuh. (HR. Al Bukhari)

Mengharap dan mencari syahid adalah bentuk amalan yang paling utama. Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam pun sangat berharap agar mati syahid:

Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku ingin terbunuh di jalan Allah kemudian dihidupkan kembali, kemudian terbunuh kemudian dihidupkan lagi, kemudian terbunuh kemudian dihidupkan lagi kemudian terbunuh.1

1 HR Al-Bukhari (2797).

Sebagaimana juga dalam hadits Sahl bin Hanif bahwa Nabi shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:

Barang siapa yang memohon mati syahid kepada Allah dengan jujur, Allah akan menempatkannya dalam kedudukan orang-orang yang mati syahid meski ia mati di atas kasurnya.2

2 HR Muslim (5039).

Dibenarkan menyebut syahid kepada setiap mujahid yang terbunuh di jalan Allah berlandaskan pada keadaan lahiriah dan mengembalikan segala yang tersembunyi hanya kepada Allah.

Hadits yang berbunyi:

Semua dosa orang yang mati syahid diampuni kecuali hutang.3

3 HR Muslim (4991).

Hadits ini dan juga hadits-hasits lainnya yang senada tidak bisa difahami secara mutlak tetapi ada beberapa pengecualian. Yaitu; orang yang telah menunjuk seorang wakil untuk menunaikan hutangnya, yang meninggalkan tebusan untuk hutangnya dan yang berniat untuk melunasi hutangnya. Ini sebagaimana yang telah ditetapkan oleh para ulama Fikih.

Pemahaman yang benar tentang batasan kawasan perang adalah satu kawasan perang yang terjadi pertempuran di dalamnya. Bahkan batasannya tidak hanya terbatas pada satu kawasan saja. Ia bisa membentang sampai ratusan ribu mil. Ini karena jangkauan persenjataan modern yang sangat luas yang biasa dikenal dengan pentas operasi, baik itu udara, laut maupun darat.

Dibenarkan bahwa setiap muslim yang terbunuh di tangan orang-orang kafir adalah syahid.

Demikian pula para ulama sepakat bahwa setiap muslim yang membunuh diri tanpa sengaja atau dibunuh temannya muslim tanpa sengaja dalam pertempuran tetap disebut syahid.

Bila ditemukan satu jasad dalam pertempuran dan padanya tidak anda tanda apapun yang dapat menunjukkan tentang kematiannya maka yang rajah ia tetap disebut sebagai syahid dalam pertempuran. Denikian pendapat mazhab Syafi'i, Maliki dan satu riwayat dari imam Ahmad.

Para ulama empat mazhab bersepakat bahwa orang syahid dalam pertempuran tidak disyaratkan harus terbunuh dengan senjata tertentu. Namun yang menjadi syarat adalah terbunuh karena disebabkan musuh.

Jumhur ulama sepakat bahwa orang syahid dalam pertempuran tidak perlu dimandikan.

Para ulama Fikih sepakat bahwa mengafani orang yang syahid cukup dengan pakaian yang dikenakan ketiaka ia syahid itu disyariatkan. Dan yang rajih tidak boleh melepaskan pakaian tersebut dan menggantinya dengan selainnya.

Orang yang syahid apabila pakaiannya terampas dalam pertempuran maka ia harus dikafani sebagaimana orang yang meninggal pada umumnya.

Jumhur ulama berpendapat bahwa semua yang dipakai oleh orang yang syahid dilepas kecuali pakaian. Maka senjata, baju besi atau penangkal peluru harus dilepas.

Tentang menshalatkan orang yang syahid, Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, "Yang dibenarkan dalam persoalan ini adalah dipersilakan memilih antara menshalatkannya atau tidak. Karena kedua pendapat tersebut sama-sama ada atsar yang melandasinya.

Orang yang syahid dikebumikan di tempat ia terbunuh bila memungkinkan. Namun bila tidak memungkinkan entah karena khawatir jasadnya akan dicuri, dibakar atau dicincang maka boleh memindahkannya ke tempat yang lain.

Ya Allah aku memohon kepada-mu kehidupan bahagia, mati syahid dan kemenangan atas musuh.

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Saudara kalian Abdullah bin Muhammad Al-Manshur (1426 H)

Source : Brain News
Kembali Ke Atas Go down
cyberkalashnikov

cyberkalashnikov


Jumlah posting : 118
Join date : 07.01.10
Lokasi : /bin/bash

Bolehkah Menyematkan Gelar ‘Syahid’? Empty
PostSubyek: Re: Bolehkah Menyematkan Gelar ‘Syahid’?   Bolehkah Menyematkan Gelar ‘Syahid’? EmptyMon Jul 26, 2010 12:51 pm

jazakallah khair wa barakallah fikum akhi coolankalink..

Kembali Ke Atas Go down
http://www.cyberkalashnikov.co.cc
Ghur4ba

Ghur4ba


Jumlah posting : 37
Join date : 14.06.10
Age : 36
Lokasi : Ad Dunya

Bolehkah Menyematkan Gelar ‘Syahid’? Empty
PostSubyek: Re: Bolehkah Menyematkan Gelar ‘Syahid’?   Bolehkah Menyematkan Gelar ‘Syahid’? EmptyMon Jul 26, 2010 8:08 pm

Assalamu'alaykum warahmatullahi wabarakaatuh

Segala puji hanya milik Allah, yang menyingkapkan segala kesesatan dengan kehendak-Nya, yang mengalahkan berbagai kemunafikan atas makarNya, dan yang memenangkan kaum Muslimin atas rahmat-Nya.

Ada banyak sekali hal yang harus kita cermati dan kritisi dari jawaban Syaikh Utsaimin di atas mengenai pemberian gelar asy Syahid kepada seseorang.

Sebelum ana sampaikan beberapa hal tersebut, mari kita sama-sama fahami beberapa poin berikut ini.

1. Semua ulama' (baik salaf ataupun khalaf) adalah manusia biasa, mereka itu bisa salah dan juga khilaf.

2. HARAM bagi seorang muta'allim taqlid kepada pendapat seorang ulama' ketika diketahui bahwa pendapat tersebut jelas cacat dan kekeliruannya.

Ini 2 hal yang harus benar-benar kita fahami sebelum ana sampaikan beberapa kekeliruan, sebeb bisa jadi apa yang difahami oleh si penerjemah adalah berbeda dengan apa yang dimaksud oleh syaikh Utsaimin. Berapa banyak orang-orang yang memang ada penyakit di dalam hatinya berani berbohong atas nama Rasulullah, tentu berbohong atas nama manusia selain Rasulullah adalah mudah bagi mereka. wal iyadzu billah...

Mari kita lihat hadits lengkap sebagaimana yang dijadikan dalil atas hujjah tulisan di atas.

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْتَقَى هُوَ وَالْمُشْرِكُونَ فَاقْتَتَلُوا فَلَمَّا مَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى عَسْكَرِهِ وَمَالَ الْآخَرُونَ إِلَى عَسْكَرِهِمْ وَفِي أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ لَا يَدَعُ لَهُمْ شَاذَّةً وَلَا فَاذَّةً إِلَّا اتَّبَعَهَا يَضْرِبُهَا بِسَيْفِهِ فَقَالَ مَا أَجْزَأَ مِنَّا الْيَوْمَ أَحَدٌ كَمَا أَجْزَأَ فُلَانٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَا إِنَّهُ مِنْ أَهْلِ النَّارِ فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ الْقَوْمِ أَنَا صَاحِبُهُ قَالَ فَخَرَجَ مَعَهُ كُلَّمَا وَقَفَ وَقَفَ مَعَهُ وَإِذَا أَسْرَعَ أَسْرَعَ مَعَهُ قَالَ فَجُرِحَ الرَّجُلُ جُرْحًا شَدِيدًا فَاسْتَعْجَلَ الْمَوْتَ فَوَضَعَ نَصْلَ سَيْفِهِ بِالْأَرْضِ وَذُبَابَهُ بَيْنَ ثَدْيَيْهِ ثُمَّ تَحَامَلَ عَلَى سَيْفِهِ فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَخَرَجَ الرَّجُلُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَشْهَدُ أَنَّكَ رَسُولُ اللَّهِ قَالَ وَمَا ذَاكَ قَالَ الرَّجُلُ الَّذِي ذَكَرْتَ آنِفًا أَنَّهُ مِنْ أَهْلِ النَّارِ فَأَعْظَمَ النَّاسُ ذَلِكَ فَقُلْتُ أَنَا لَكُمْ بِهِ فَخَرَجْتُ فِي طَلَبِهِ ثُمَّ جُرِحَ جُرْحًا شَدِيدًا فَاسْتَعْجَلَ الْمَوْتَ فَوَضَعَ نَصْلَ سَيْفِهِ فِي الْأَرْضِ وَذُبَابَهُ بَيْنَ ثَدْيَيْهِ ثُمَّ تَحَامَلَ عَلَيْهِ فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ ذَلِكَ إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ الْجَنَّةِ فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ وَهُوَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ النَّارِ فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ وَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ

Telah bercerita kepada kami Qutaibah telah bercerita kepada kami Ya'qub bin 'Abdur Rahman dari Abu Hazim dari Sahal bin Sa'ad As-Sa'idiy radliallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berhadapan dengan Kaum Musyrikin lalu saling berperang. Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bergabung dengan bala tentara Beliau dan musuhnya pun bergabung kepada bala tentara mereka, ada di antara sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam seorang yang ditemukan dalam keadaan sendirian terluka sangat parah dan terbunuh oleh pedang. Lalu setelah itu ada yang berkata: "Hari ini tidak ada seorangpun di antara kita yang mendapat ganjaran pahala sebagaimana yang didapat fulan ini". Namun Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Ketahuilah sungguh dia termasuk dari golongan ahlu neraka". Lalu ada seseorang lak-laki di tengah orang banyak menimpal; "Aku ada bersama orang itu, laki-laki itu bercerita bahwa ia pergi bersama fulan, hingga apabila dia berhenti diapun ikut berhenti dan apabila dia maju menyerang iapun ikut menyerang, laki-laki itu berkata; "lalu fulan tersebut terluka sangat parah sehingga mengantarkannya hampir kepada kematian. Lalu laki-laki itu meletakkan pedangnya di tanah dan ujung pedangnya diletakkah diantara dua dadanya lalu dia membunuh dirinya sendiri". Maka orang yang bersamanya tadi pergi menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lalu berkata: "Aku bersaksi bahwa Tuan adalah benar-benar utusan Allah". Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bertanya: "Kenapa kamu berkata begitu?" Orang ini menjawab: "Karena fulan yang Tuan sebutkan tadi benar-benar dia penghuni neraka". Maka orang-orang kaget mendengar ucapannya itu. Aku katakan: "Aku menjadi saksinya. Aku telah keluar bersamanya dimana aku mencarinya kemudian aku dapatkan dia dalam keadaan luka parah hampir menemui ajalnya lalu dia meletakkan pedangnya di tanah dan ujung pedangnya diletakkah diantara dua dadanya lalu dia membunuh dirinya sendiri. Maka pada kesempatan itu juga Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya ada seseorang yang mengamalkan amalan ahlu surga berdasarkan yang nampak oleh manusia padahal dia adalah dari golongan ahlu neraka. Dan ada seseorang yang mengamalkan amalan ahlu neraka berdasarkan yang nampak oleh manusia padahal dia adalah dari golongan ahlu surga".
[Shohih Bukhari No.2683 bab "Laa yaqul fulan syahid" (Tidak mengatakan bahwa fulan syahid)]

Hadits ini -wallahu a'lam- tidak mungkin salah difahami oleh Syaikh Utsaimin. Sebab sebagaimana kita ketahui bersama, beliau adalah orang yang sangat dalam ilmunya dan juga insya Allah amal beliau sesuai dengan ilmunya.

Adapun si penerjemah (yang dijadikan rujukan oleh abu adam), nampaknya mulai menebarkan jaring-jaring Ghulat Murji'ahnya kepada para pengikutnya. Coba perhatikan perkataanya berikut

Quote :
karena sumber dari sebuah persaksian adalah apa yang terdapat di dalam hati, dan tidak ada yang mengetahui apa yang ada di hati kecuali Allah ‘azza wajalla

Jika kita cermati, nampaknya tidak ada yang aneh dari pernyataan di atas, namun ini adalah benih-benih faham Ghulat Murji'ah yang mulai ditebarkan di kalangan murid-muridnya.

Sebagaimana yang kita fahami, faham Ghulat Murji'ah ini berkeyakinan bahwa seorang Muslim, apapun yang ia lakukan, tidak akan menjadi kafir kalau hatinya tidak menghalalkan apa yang ia lakukan tersebut. Misalnya si A melakukan sebuah perbuatan kekufuran, maka orang-orang Ghulat Murji'ah ini tidak akan mengkafirkan si A karena belum jelas bagi mereka, si A ini menghalalkan atau tidak perbuatan yang ia lakukan tersebut.

Jadi faham Ghulat Murji'ah ini menjadikan hati sebagai tolak ukur atas perbuatan seseorang, ia tidak dapat dikafirkan ataupun diberi gelar Syahid kecuali kalau isi hatinya sudah jelas di hadapan mereka. Padahal, orang bodoh sekalipun tau, sampai kapan pun, TIDAK AKAN PERNAH DIKETAHUI apa yang ada di dalam isi hati seseorang, dan tidak akan mungkin ada pengadilan yang mengadili tentang isi hati manusia di dunia ini.

Bagi para ulama' Ahlu Sunnah wal Jama'ah, faham Ghulat Murji'ah ini sudah banyak yang disesatkan dan dicekal bahkan dikafirkan. Karena memang faham ini sangat berbahaya dan sangat menyesatkan kaum muslimin.

Ana tidak akan berpanjang lebar untuk menjelaskan tentang kesesatan Ghulat Murji'ah ini, silahkan antum cari buku-buku atau kitab-kitab yang sudah banyak diterjemahkan tentang pembahasan ini.

Lalu bagaimana sikap ulama' Ahlu Sunnah wal Jama'ah atas pemberian gelar Syahid kepada seseorang?

Jawabannya adalah, mereka menggelari dengan APA YANG TERLIHAT DENGAN MATA, sebagaimana hadits di atas.

عِنْدَ ذَلِكَ إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ الْجَنَّةِ فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ وَهُوَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ النَّارِ فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ وَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ

"Sesungguhnya ada seseorang yang mengamalkan amalan ahlu surga berdasarkan yang nampak oleh manusia padahal dia adalah dari golongan ahlu neraka. Dan ada seseorang yang mengamalkan amalan ahlu neraka berdasarkan yang nampak oleh manusia padahal dia adalah dari golongan ahlu surga".

Ini adalah akhir dari hadits yang dijadikan hujjah oleh si penerjemah (yang menjadi rujukan oleh abu adam).

Silahkan lihat sendiri, fahami sendiri dan renungkan sendiri, benarkah ANDA SEORANG AHLU SUNNAH WAL JAMA'AH? Atau malah ANDA SEORANG GHULAT MURJI'AH???

wallahu a'lam
Kembali Ke Atas Go down
http://ghur4ba.blogspot.com
Sponsored content





Bolehkah Menyematkan Gelar ‘Syahid’? Empty
PostSubyek: Re: Bolehkah Menyematkan Gelar ‘Syahid’?   Bolehkah Menyematkan Gelar ‘Syahid’? Empty

Kembali Ke Atas Go down
 
Bolehkah Menyematkan Gelar ‘Syahid’?
Kembali Ke Atas 
Halaman 1 dari 1

Permissions in this forum:Anda tidak dapat menjawab topik
Soldier Of Allah - Indonesia :: SOA Akses Public :: Articel-articel-
Navigasi: